Jumaat, 29 April 2016

Abul Hasan Al-Asy’ariy

Mengenal Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy dan Asy’ariyyah

Maret 31, 2012
Mari kita berpikir jernih. Mungkin luput dari pengamatan kita, betapa banyak orang yang menggolongkan kepada seseorang atau kelompok namun ternyata tidak selaras dengan pemikiran atau faham orang atau kelompok yang di ikuti, masih segar dalam ingatan kita, Imam Syafi’i berpendapat bahwa mengirim pahala kepada orang yang telah meninggal tidak akan sampai sama sekali. Namun anehnya (tapi nyata) orang yang mengaku pengikuti Imam Syafi’i justru menjadi pelopor terdepan dalam mengamalkan amalan ini bahkan memasyarakatkanya.
Demikian pula dengan pengikuti Abu Hasan Al–Asy’ari. Mereka mengaku mengikuti beliau dalam masalah akidah, terutama penetapan Nama-nama dan Sifat Allah yang berjumlah tujuh. Mereka disebut Asya’iroh alias Asy’ariyah. Padahal beliau (Imam Abul Hasan Al-Asy’ari -ed) telah ruju’ (kembali) ke manhaj salaf, ahlussunah waljama’ah dengan menetapkan semua sifat bagi Allah, tidak hanya tujuh. Namun pengikutnya tidak menyadari. Lebih aneh lagi ucapan yang terlontar dari Pensyarah kitab Ihya Ulumuddin, Imam Az Zabidi dalam kitabnya Ittihaf  Sadatul Mutaqiin.Apabila disebut kaum Ahlussunah wal jama’ah, maka maksudnya ialah orang–orang yang mengikuti rumusan (faham) Asy’ari dan faham Abu Manshur Al-Maturidi. (Lihat I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, KH. Sirojuddin Abbas, hal. 16–17)
Dalam uraian berikut akan dikemukakan secara ilmiah -Insya Allah- perbedaan antara imam Abul Hasan Al-Asy’ari dengan Asya’iroh dan sekaligus sebagai bukti kongkrit kesalahan faham tersebut dan penganutnya.
Pembahasan ini dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Biografi Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
  2. Perkataan beliau dalam kitab-kitabnya setelah ruju’ ke manhaj salaf
  3. Pijakan penetapan dan pembatasan sifat 20 menurut Asya’iroh dan bantahannya.
Kita masih sering, mendengar lantunan: Wujud, Qidam, Baqa’ Mukholafathu Ta’al Lil Hawaditsi, Qiyamuhu Binafsihi, Wahdaaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama’ Bashara, Kalam, Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu Aaliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami’an, Kaunuhu Bashiran, Kaunuhu MutakalimanInilah yang dinamakan sifat wajib dua puluh bagi Allah yang harus diyakini menurut Asya’iroh.
Sebenarnya sifat–sifat tersebut bukan murni rumusan Abu Hasan Al-Asy’ari, namun sudah ditambahi oleh Maturidiyyah, beliau hanya merumuskan tujuh sifat yang terkumpul dalam syair’  Sifat hayat (hidup). Ilmu (mengetahui), Qudroh (berkuasa) dan Kalam (berbicara); Irodah (berkehendak), Sam’u (mendengar) dan Bashor (melihat).
Dikemudian hari populer dengan nama sifat dua puluh. Maturidiyah adalah orang yang mengaku mengikuti Imam Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Al-Maturidi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh KH. Sirodjudin Abbas: 
“I’tiqod Nabi dan sahabat–sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan dalam sunah Rasul secara terpencar–pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin besar, yaitu Syeikh Abu Hasan Al-Asy’ari (lahir di Basrah tahun 260 H. wafat di Bashrah juga tahun 324 H dalam usia 64 tahun, yang benar beliau meninggal di Baghdad –Pen) karena itu ada orang yang memberi nama kepada kaum Alhussunah Wal Jama’ah dengan kaum Asya’irah jama’ dari Asy’ari, dikaitkan kepada Imam Abu Hasan Al-Asy’ari tersebut. (I’tiqad Ahlussunah Wal Jama’ah, hal. 16)
Sedangkan Abu Mansur Al-Maturidi adalah seorang ulama ushuluddin juga. Yang faham dan I’tiqadnya sama atau hampir sama dengan Abu Hasan Al-Asy’ari, beliau wafat di sebuah desa bernama Maturudin Samarqand. Di Asia tengah pada tahun 333 H. Terkemudian 9 tahun dari Imam Abu Hasan Al-Asy’ari (hal 17).
Inilah yang dinamakan oleh kaum Ahlusunah wal jama’ah dengan “Sifat tuhan dua puluh yang wajib diketahui dan diyakini seyakin–yakinnya oleh setiap orang muslim yang baligh – beraqal (lihat I’tiqad Ahlussunah Wal  Jama’ah, hal 36 – 45).
Itulah sekilas faham mereka seputar sifat–sifat Allah.

A. BIOGRAFI IMAM ABUL HASAN AL-ASY’ARI

Nama beliau adalah Ali bin Ismail bin Abi Sisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdilah bin Musa bin Amir Bashroh Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari Abdulloh bin Qois bin Hadhor Al-Asy’ari Al-Yamani, Sahabat Rasulullah. Populer dengan nama Abu Hasan Al-Asy’ari. Dilahirkan di Basroh lalu menetap di Baghdad setelah melepas faham Mu’tazilah. Tahun kelahirannya diperselisihkan, namun mayoritas sejarawan menetapkan tahun 260 H, sebagaimana di tetapkan oleh Adz-Dzahabi, dan wafat tahun 324 H. di Baghdad, perlu diperhatikan bahwa beliau menjalani tiga fase kehidupan.
A.1. Fase Awal
Beliau mengikuti faham Mu’tazilah. Karena sejak kecil sampai umur empat tahun dalam naungan didikan bapak tirinya, Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al Juba’i (wafat 303 H. seorang tokoh Mu’tazilah), seperti dikisahkan oleh Ibnu Nadim(wafat 385 H).
”Awalnya beliau adalah berfaham Mu’tazilah lalu bertobat dari faham tersebut dengan berpidato di masjid jam’i di Bashroh pada hari Jum’at. Beliau naik kursi dan bersuara lantang: “siapa yang telah mengenalku berarti dia telah betul – betul mengenalku, dan siapa yang belum pernah mengenalku maka saya mengetahui diri saya sendiri. Saya adalah Fulan bin Fulan. Saya dulu berpendapat bahwa al Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat dengan mata (pada hari Kiamat). Dan perbuatan jelek itu saya sendiri yang berbuat (Allah tidak berperan) sekarang saya taubat dan melepas keyakinan tersebut untuk membantah faham Mu’tazilah” lalu beliau turun dan keluar, meninggalkan kejelekan dari aib mereka” (al Fahrosat, hal 257)
Ibnu ‘Asakir menambahkan: ”wahai seluruh manusia, saya menghilang dari hadapan kalian beberapa waktu karena saya mendapati beberapa dalil dan belum bisa membedakan mana yang hak dan yang batil. Lalu saya meminta petunjuk kepada Allah dan Allah memberikan petunjuk-Nya, untuk meninggalkan semua yang kutulis di buku–buku saya. Maka saya ditinggalkan semua yang dulu saya yakini seperti saya melepaskan baju saya ini” lalu beliau melepaskan bajunya dan melemparknya. (Tabyiini Kadzibil Muftari, hal 39)
Adapun sebabnya ada dua, seperti disebutkan Ibnu Asakir, Pertama: bermimpi melihat Rasulullah kata Abul Hasan Al-Asy’ari: penyebab saya keluar dari faham Mu’tazilah adalah saya bermimpi melihat Rasulullah pada awal bulan Ramadhan,Kedua: pertanyaan yang disodorkan kepada para gurunya, tetapi mereka tidak mampu menjawab “(Tabyiin hal. 38 – 42)
A.2. Fase kedua
Setelah keluar dari faham Mu’tazilah beliau menganut faham Kullabiyah, yang dimotori oleh Abdulloh bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mulailah beliau membantah golongan Mu’tazilah dengan berpijak kepada faham Kullabiyah ini.
Ibnu Taimiyah berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari dahulunya adalah seorang Mu’tazilah, ketika keluar darinya dia mengikuti faham Muhammad bin Kullab” (Majmu‘Fatawa 5 /556) hal ini diakui pula oleh Ad Dzahabi dan selainnya (lihat Siyar A’laminubala 2/228)
Mengenai Ibnu Kullab, Ibnu Taimiyah berkata: “Dialah yang mengarang kitab–kitab yang isinya membantah Jahmiyah, Mu’tazilah dan firqoh lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat–sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahlul hadits dan sunah, namun masih termuat cara–cara bid’ah. Karena dia menetapkan sifat Dzatiyah dan menolak sifat Ikhtiariyah bagi Allah, Tetapi ketika membantah Jahmiyah dikarenakan mereka menolak sifat dan sifat Uluw (Allah berada di tempat yang tinggi). Sarat dengan hujjah dan dalil dan menerangkan keutamaan hujah dan dalil tersebut. Maka apa yang dikemukakan itu menyapu bersih syubhat Mu’tazilah. Dan ini membantu bagi kalangan cendekia. Jadilah dia seorang imam dan panutan bagi orang yang muncul setelahnya dalam masalah penetapan sifat dan membantah orang yang menafikannya. Walaupun antara mereka (Ibnu Kullab dan pengikutnya dengan golongan yang dibantahnya masih ada persamaan dalam kaidah–kaidah pokok. Hal inilah yang menyebabkan sebagian kaidah yang mereka munculkan. Menjadi batil dilihat dari kaca mata akal dan karena menyelisihi sunah Rasulullah “. (Majmu’fatwa 12/ 366).
Lanjut beliau : ”…namun tatkala Muhammad bin Kullab berbicara dan berdialog dengan Mu’tazilah menggunakan cara berfikir Qiyas (analogi), dia menerima kaidah yang dicipta oleh Mu’tazilah yaitu menolak bahwa Allah berbicara dengan huruf, melekatnya sifat–sifat ikhtiariyah yang berkaitan dengan kehendak/ kekuasaan Allah berupa perbuatan, kalam dan selainnya. Dengan beranggapan bahwa penetapan sifat ikhtiariyah itu berkonsekuensi: Allah mempunyai sifat yang hadits (baru), padahal sesuatu yang tidak terbebas dari sifat hadits berarti dia hadits (baru). Implikasinya dia berpendapat bahwa kalam Allah itu hanya berupa makna, dan huruf (ketika Allah berbicara) tidak termasuk kalam Allah. Pendapat ini diikuti oleh Abul Hasan Al-Asy’ari” (Majmu’Fatawa 12/366)
Disinilah Abul Hasan Al-Asy’ari tidak menyadari. Ketika Ibnu Kullab membantah Mu’tazilah dan menetapkan sifat Lazimah Allah sifat yang selalu melekat pada dzat Allah (dia juga menafikan sifat–sifat ikhtiariyah Allah seperti sifat ridho, marah, benci senang dan lain–lainnya). Memang dalam penetapan sifat lazimah ini Ibnu Kullab mencocoki madzhab Ahlususunnah seperti sifat Hidup, Ilmu, Qudroh dan lainnya namun juga menyelisihinya dengan menolak sifat Ikhtiyariyah tadi. Sehingga bisa dikatakan dia membentuk madzhab baru yang sebagiannnya sesuai dengan madzhab ahlussunnah dan sebagiannya menyelisihinya.
Berikut ini metode penetapan sifat Ibnu Kullab yang diikuti oleh Abul Hasan Al-Asy’ari:
  1. Menetapkan sifat lazimah, semisal : Ilmu, Qudrah
  2. Menafikan sifat ikhtiariyah yang berkatian dengan Masyi’ah (kehendak) dan Qudrah Allah.
  3. Kalam Allah adalah makna yang melekat tersimpan pada dzat (dalam ungkapan kita: ungkapan yang masih terpendam di hati), jika diungkapkan dengan bahasa Arab disebut Al Qur’an, bila dalam bahasa Ibrani disebut Taurat, dalam bahasa Suryaniyah disebut Injil
  4. Al Qur’an bukanlah kalam Allah tetapi kalam Jibril atau yang lain, Jibril mengungkapkan makna yang tersimpan dalam dzat Allah dengan ungkapan dia sendiri.
  5. Menafikan Allah bersifat senang, ridho kepada kaum mukminin setelah merek beriman, dan memurkai kaum kafirin setelah mereka kafir.
Adapun ahlussunnah wal jama’ah atau salafiyah menetapkan seluruh sifat ikhtiariyah yang Allah tetapkan bagi diri-Nya tanpa ditakyiftamtsiltahrif dan ta’thil. Sebagai contoh, Allah beristiwa di atas arsy, Allah turun, datang dan lainnya. Allah juga bersifat marah, senang, murka, ridho dan sifat lainnya yang ditetapkan oleh Rasulullah. Allah juga berbicara, namun kalam Allah adalah qodimun nau’ danhaditsul aahad, maksudnya adalah selalu bersifat bicara (sifat kalam ini selalu melekat pada Allah), dan kalam perkalamnya adalah baru, kalam Allah kepada Adam bukanlah kalam-Nya kepada Nuh, kalam-Nya kepada Nuh bukanlah kalam-Nya kepada Ibrohim, juga bukan pula kalam-Nya kepada Muhammad dan seterusnya.
A.3. Fase ketiga
Setelah sekaian lama bergelut dengan faham Kullabiyah, meyakini dan menyebarkannya, beliau sadar dan kembali kepada manhaj yang benar, manhaj salaf ahlussunnah wal jama’ah dengan menisbatkan diri kepada Imam Ahmad bin Hanbal karena hidayah Allah, kesadaran dan kembalinya beliau ke manhaj Ahlussunnah wal jama’ah dibuktikan dengan tiga hal :
  1. Perkataan Para Ulama
Banyak sekali ulama yang mempersaksikan kembalinya Imam Abul Hasan Al-Asy’ari kepada madzhab salaf Ahlusunnah wal jama’ah, persaksian mereka itu diikrarkan setelah meneliti kehidupan Imam Abul Hasan Al-Asy’ari.
Diantara mereka adalah:
a. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
b. Imam Ibnul Qoyyim
c. Imam Ad Dzahabi
d. Imam Ibnu Katsir, beliau berkata: “Mereka (para ulama) menyebutkan tiga fase kehidupan Abul Hasan Al-Asy’ari, Fase pertama, berfaham Mu’tazilah. Fase kedua: penetapan sifat tujuh yaitu hayat, ilmu, qudroh, irodah, sam’u, bashar, dan kalam dengan berdasarkan kaidah akal. Adapun sifat Khobariyah, seperti wajah, dua tangan, kaki, betis dan lainnya dita’qil (ditahrif). Fase ketiga, menetapkan semua sifat khobariyah tadi dengan tanpa ditakyif dan tasybih menurut faham salaf. Inilah metode yang beliau tempuh seperti dijabarkan dalam kitab al Ibanah, karya terakhir beliau” (Ithaf  Sadatil Muttaqin, Murtadho Az- Zabidi, 2/5 cet. Darul Fikr).
e. Syaik Nu’man Al-Alusi
f. Syaikh Abul Ma’ali Mahmud Al Alusi
g. Al Allammah Muhibudiin Al Khotibb, beliau berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari Ali bin Ismail termasuk pembesar imam ahlu kalam dalam Islam. Pada awal kehidupannya dia menganut faham Mu’tazilah, dengan berguru kepada Abu Ali Al Jubba’i kemudian Allah menyadarkannya ketika beliau menginjak usia paruh baya dan awal kematangannya. Beliau mengumumkan kesadaran? Keinsyafannya dan membeberkan kesesatan faham Mu’tazilah. Pada fase ini beliau banyak menulis, berdebat dan mengajar dengan membantah faham Mu’tazilah berlandaskan metode jidal (debat) ta’wil (tahrif) dan metode salaf. Akhirnya beliau benar–benar kembali ke manhaj salaf dengan mengistbatkan semua perkara–perkara ghoib (termasuk sifat–sifat Allah) yang wajib diimani oleh para hamba-Nya dengan berdasarkan pada Nash (al Qur’an dan Hadits) buktinya beliau menulis kitabnya yang paling akhir yang sudah banyak dibaca orang yaitu Al Ibanah. Para penulis biografi beliau memastikan bahwa al Ibanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan. Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Adapun yang menyelisihi hal di atas dan dinisbatkan kepada beliau atau apa yang diada-adakan oleh Asy’iroh, sesungguhnya Abul Hasan Al-Asy’ari telah menyadari bahwa itu salah dan beliau telah meninggalkannya serta kembali ke manhaj salaf ahlussunah wal jama’ah seperti yang ditulis dalam kitab al Ibanah dan kitab lainnya”. (Lihat komentar no. 2 pada Muntaqo Minhajul I’tidal milik Adz Dzahabi).
  1. Perjumpaan Beliau Dengan Al Hafidz Zakaria As-Saaji
Setelah Abul Hasan Al-Asy’ari melepas faham Mu’tazilah dan Kullabiyah, mulailah beliau menemui para imam ahlul hadits yang selamat aqidahnya guna mengambil dan mengikuti metode yang ditempuh oleh mereka. Yang paling mashyur adalah pertemuannya dengan ahli hadits negri Bahsrah Al Hafidz Zakaria As-Saaji. Para ulama begitu memperhatikan pertemuan ini karena merupakan point penting seputar keterusterangan Abul Hasan Al-Asy’ari untuk kembali ke manharj salaf dan dan penisbatannya kepada Ahmad bin Hanbal. Ibnu Taimiyah berkata: “Abu Hasan Al-Asy’ari mengambil dasar–dasar ilmu hadits dari Zakaria as-Saaji di Bashrah lalu setelah datang ke Baghdad menimba ilmu lainya dari pada ulama Hanbaliyah. Ini adalah fase terakhir dikehidupannya seperti disebutkan oleh para sahabatnya (muridnya) di kitab mereka” (Majmu Fatwa 3/ 288).
Kata Ibnu Taimiyah selanjutnya :  “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ushul (pokok–pokok) ahlussunah dan hadits dari Zakaria As-Saaji. Hal ini banyak dijumpai di kitabnya Maqolatul Islamiyyin. Dia menyebutkan pendapat imam ahlussunnah sebagaimana juga pendapat Hammad bin Zaid bahwa Allah berada di atas arsy dan dia mendekat kepada hamba-Nya sekehendak-Nya” (Majmu’ Fatawa 5/ 386)
Imam Adz–Dzahabi sangat menaruh perhatian terhadap pertemuan dua orang ini. Ketika Adz-Dzahabi menulis biografi As-Saaji beliau berkata : “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil dari Al Hafidz As-Saaji perkataan ahlul hadits dan salaf“. (Tadzkirotul Hufadz 2/709).
Pada Syiar A’lamun Nubala’ 14/198, Ad Dzahabi berkata: “Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil dari Al Hafidz as-Saaji perkataan salaf dalam masalah sifat–sifat Allah. Lalu dijadikan pijakan dalam kitab–kitabnya”. Termasuk ulama yang memastikan adanya pertemuan antar Al Hafidz As-Saaji dengan Abul Hasan Al-Asy’ari adalah dua orang imam: Ibnul Qoyyim dan Ibnu Katsir (lihat Ijtima’u Juyus Islamiyah hal 97Al Bidayah Wan Nihayah 11/131 dan Ghoyatul Amani oleh Al Alusi 1/480)
  1. Penulisan Kitab Al Ibanah Dan Pemastian Bahwa Kitab Itu Karya
Beliau Banyak sekali ulama yang memastikan bahwa kitab Al Ibanah merupakan karya terakhir Abu Hasan Al-Asy’ari, baik ulama terdahulu atau yang belakangan, yang paling dekat masa hidupnya dengan Abu Hasan adalah Ibnu Nadim, dalam kitabnya, al Fahrosat hal. 257, Ibnu Nadim menyebutkan biografi Abu Hasan dan karya–karyanya. Di antara karyanya adalah kitab At–Tabyiin an Ushulludin.
Setelah itu Ibnu Asakir, beliau membela Abu Hasan dan memastikan bahwa kitab Al-Ibanah adalah kitab karya Abu Hasan, lalu Ibnu Asakir menyebut–nyebut dari kitab Al Ibanah dalam kitabnya At Tabyiin untuk memuji akidah Abu Hasan Al-Asy’ari, Ibnu Asakir berkata: “Karya Abu Hasan Al-Asy’ari telah mashur di kalangan ulama, menurut ulama peneliti, kitab tersebut sangat baik dan benar, siapa yang meneliti Al Ibanah niscaya mengerti isinya yang sarat dengan ilmu dan ketaatan”. (Tabyiin Kadzabul Muftari, hal 28) disebutkan bahwa Imam Abu Utsman as-Shobuni tidak akan keluar ke majlis kecuali membawa kita Al Ibanah karya Abul Hasan Al-Asy’ari, beliau sangat terkesan dengan kitab itu, hingga berujar: “apa–apa yang dingkarkan kepada saya tentang isi kitab ini maka akan terbongkarlah madzab orang tersebut” Lalu Ibnu Asakir berkomentar: “Ini adalah ucapan Imama Abu Utsman, sedang dia adalah tokoh ahli hadits di Khurosan” (Tabyiin Kadzbul Muftari, hal 389)
Berikutnya, Ibnu Darbas (wafat 659 H) mengarang sebuah kitab untuk membela Abu Hasan Al-Asy’ari dan memastikan bahwa kitab al Ibanah adalah karya Abu Hasan. Dia berkata: “Adapun sesudah itu, ketahuilah wahai saudara–saudara, semoga Allah memberikan taufik dan hidayah kepada kita menapaki dien yang lurus dan untuk meniti jalan lurus,sesungguhnya kitab Al Ibanah An Ushulid Diyanah buah karya imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari adalah kitab dimana akidah beliau tertancap mantap padanya. Dan dengannya beliau beribadah kepada Allah setelah melepas paham I’tizal (Mu’tazilah) karena karunia Allah dan kelembutan-Nya, adapun perkataan yang muncul sekarang dan dinisbatkan kepada beliau namun menyelisihi akidahnya, beliau telah meninggalkannya dan beliau minta pembebasan kepada Allah dari perkataan tersebut. Bagaimana tidak, beliau telah menyatakan bahwa akidah tersebut adalah keyakinannya guna beribadah kepada Allah. Dan dia telah meriwayatkan dan memastikan keyakinan sahabat, Tabi’in para imam ahlul hadits yang telah berlalu, dan ucapan Ahmad bin Hanbal– semoga Allah merohmati mereka semua. Tambahan lagi keyakinan itu telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan Sunah Rarul-Nya. Apakah mungkin beliau kembali kepada kayakinan lain? Lalu kepada apa beliau kembali?
Mungkinkah beliau berpaling dari kitab dan Sunnah, menyelisihi pemahaman sahabat Tabi’in dan para imam hadits yang telah lalu? Padahal telah diketahui bahwa itulah madzab beliau dan beliau sendiri telah meriwiyatkan dari mereka (imam ahlul hadits, tabi’in dan sahabat). Demi Allah, ini tidak patut dinisbatkan kepada orang awam apalagi kepada pemuka agama ini! Sekelompok imam dunia, para fuqoha Islam, imam ahli Qiro’at, ahli Hadits dan selain mereka telah menyebut kitab Al Ibanah ini, mereka jadikan pijakan dan pastikan bahwa kitab ini karya Abu Hasan Al-Asy’ari, mereka juga memujinya, membersihkanya dari bid’ah–bid’ah yang dinisbatkan kepada beliau. Dan menukil perkataan beliau dari Al Ibanah dalam tulisan–tulisan mereka”. (Risalatul Dzahabbi An Abil Hasan Al-Asy’ari, hal 107, peneliti Dr. Ali bin Nashir Al Fakihi).
Kemudian Ibnu Darbas Menyebutkan nama–nama mereka:
  1. Imam ahli Qiro’at al Qur’an, Abu Ali Al Hasan bin Ali bin Ibroihim Al Farisi (wafat 446)
  2. Al Hafidz Abu Utsman As Shobuni (wafat 449H)
  3. Al Faqih Al Hafiz Aabu Bakr Al Baihaqi (wafat 458 H)
  4. Imam Abul Fath Nashr Al Maqdisi (wafat 490H)
  5. Al Faqih Abul Ma’ali Mujalli, penyusun kitab Ad Dzakhooir (wafat 550H)
Ulama lainnya yang tidak disebutkan Ibnu Darbas semisal:
  1. Imam Ibnu Timiyah
  2. Al Hafiz Ad Dzahabi, beliau berkata: “Kitab al Ibanah adalah termasuk karangan Abu Hasan yang termashur.  Dipopulerkan oleh Al Hafidz Ibnu Asakir dan dijadikan rujukan dan disalin oleh Imam Nawawi (Mukhtashor Al Uluw, hal 239)
  3. Imam Ibnul Qoyyim
  4. Al Hafidz Ibnu Katsir.
  5. Al Allmah Ibnu Farhun Al Maliki (wafat 799)
  6. dan masih banyak lagi
Kesimpulannya:
Abu Hasan Al-Asy’ari pada awal kehidupannya menganut faham Mu’tazilah kemudian berlepas diri. Setelah itu menganut faham Kullabiyah. Masa inilah beliau menetapkan sebagian sifat (yang tujuh dan menta’wil sifat yang lain). Akhirnya beliau Ruju’ (kembali) kepada faham salaf, membelanya dan berpendapat sesuai pendapat salaf beliau mengambil dari pada ahlu hadits pendapat ahlussunnah wal jama’ah, lalu mengarang kitab Al Ibanah dan meyakini apa yang ditulisnya. Inilah yang dikehendaki oleh Allah. Kitab Al Ibanah adalah karya imam Abu Hasan Al-Asy’ari, seperti ditegaskan oleh para ulama, persaksian mereka sudah cukup sebagai bantahan terhadap orang yang menyangka bahwa kitab itu hanya dinisbatkan kepada beliau bukan karyanya. (lihat bahasan ini dari hal 1 – 55)
PERKATAAN ABU HASAN AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah hal 17–19, beliau berkata;
“Apabila seseorang bertanya: “kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Harruriyyah, Rodidhoh dan Murji’ah, maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu yang mengaku beribadah kepada Allah dengannya! Jawablah: “Pendapat dan keyakinan kami yang kami pegangi adalah perpegang teguh dengan kitab rabb kita azza wajalla, sunnah Nabi kita  dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in dan para ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang, membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun, sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan anak dan istri, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti firman-nya. الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى (Thoha ayat 5) Allah mempunyai dua tangan, tapi tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya: بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64) Allah mempunyai dua mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14), siapa yang menyangka bahwa nama–nama Allah bukanlah Allah maka dia telah sesat, Allah mempunyai ilmu, firmanya (QS. An Nisa 166) firmannya:وَمَاتَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى  وَلاَتَضْعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ tidak ada seorang perempuan –perempuan mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. (QS. Al Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikanya seperti dilakukan oleh Mu’tazilah, Jahmiyah dan Khowarij, kita juga menetapkan bahwa Allah mempunyai Quwwah (kekuatan), seperti firman-Nya :أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدّ مِنْهُمْ قُوَّةً (QS. Fushilat: 15), kita katakan bahwa kalam Allah bukan makhluk, Allah tidak menciptakan sesuatupun kecuali akan mengatakan jadilah! Seperti firmannya إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَىءٍ إِذَاأَرِدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ(QS. An Nahl: 40) Tidak ada satu kebaikan atau kejelekan pun di bumi ini kecuali telah dikehendaki oleh Allah, sebab sesuatu itu terjadi karena kehendak-Nya azza wajalla seseorang tidak mampu berbuat suatu perbuatanpun sebelum Allah menentukannya dan dia pasti butuh kepada Allah, tidak ada seorangpun yang mampu keluar dari ilmu Allah azza wa jalla sesungguhnya tidak ada pencipta kecuali Allah, amal perbuatan hamba itu diciptakan dan ditentukan oleh Allah, seperti firmannya: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَُعْمَلُوْنَ(Qs.Ash Shofat: 96) seorang hamba tidak mampu menciptakan sesuatupun, bahwa mereka diciptakan, seperti firman-Nya: هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (QS. Fathir: 3)لاَيَخْلُقُوْنَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُوْنَ (QS An Nahl: 20) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لاَيَخْلُقُ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ (Qs. An Nahl; 17) أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَىءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (QS At Thur: 35) dan masih banyak lagi ayat yang lain dalam kitab Allah.”
Dalam maqolatul Islamiyyin bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297 beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada akhir Bab beliau berkata:
“Inilah sekumpulan perkataan yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka. Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!”
Dari dua kitab tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
  1. Sifat–sifat yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
  2. Allah akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
  3. Allah akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma’ (kesepakatan) salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
  1. Salaf bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam) dan dua tangan Allah adalah kanan.
  2. Mereka bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan), uluw (ketinggian) dan Allah berada di atas arsy.
  3. Mereka bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata mereka, (hal 210 – 225)
Kemudian beliau menyebutkan beberap ijma’ lainnya, lalu menutup dengan ijma’ yang menyeluruh sebagai kaidah terpenting bagi salaf, katanya:
“para salaf telah bersepakat untuk menetapkan sifat–sifat bagi Allah sebagaimana Allah telah mensifati diri-Nya dengan sifat tersebut dan pensifatan oleh Nabi-Nya tanpa pemalingan dan tanpa ditakyif, iman kepada sifat–sifat tersebut adalah wajib, demikian pula tidak bolehnya takhif juga wajib” (hal 224)
Semakin jelas kiranya bahwa akidah imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah asma’ dan sifat berdasarkan:
  1. Kitab Allah ta’ala yaitu al Qur’an dimana Allah menetapkan di dalamnya sifat–sifat bagi diri-nya
  2. Hadits – hadits Rasululah yang shohih yang menetapkan sifat
  3. Perkatan salaf dan para imam hadits. Karena aqidah mereka adalah aqidah yang selamat dan motode mereka adalah lurus, yang menetapkan sifat-sifat yang baik bagi Allah, tanpa ditakyif, tanpa tamsil, tanpa tahrif, tanpa ta’thil, panutan dalam masalah ini adalah imam Ahmad bin Hambal
Berbeda dengan apa yng diyakini oleh sementara orang yang mengaku mengikuti beliau, dikenal dengan nama Asya’iroh, ternyata yang mereka klaim itu tidak benar sama sekali, sehingga terlihat nyata perbedaan antara imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Asy’iroh, dimana beliau menetapkan semua sifat bagi Allah yang tertera dalam al Qur’an sedangkan Asya’iroh hanya menetapkan dua puluh sifat saja, uraian ini sebenarnya sudah cukup membuktikan kesalahan mereka dan sebagai bantahan kepada mereka, karena beliau telah ruju’ (berlepas diri) dari faham Mu’tazilah dan faham Kullabiyah. Membuktikan bahwa faham tadi itu salah dan sesat, selain itu mereka telah berbuat lancang dzolim kepada imam Abu Hasan Al-Asy’ari, jika mereka mengaku ittiba’ kepada beliau seharusnya juga bertaubat dari keyakinan mereka dan ruju’ kepada faham salaf, ahlussunnah wal jama’ah yang hakiki, Allahu a’lam.
(Penyusun: Abu Syamiel A)
Penjelasannya simak kajian yang sampaikan oleh Al-Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin, Lc pada kajian rutin di Masjid Astra Sunter, Jakarta Utara pada hari kamis, 11 Januari 2007 dengan pembahasan ” Mengenal Abul Hasan Al-Asy’ari dan Asy’ariyah “
Silahkan download pada link berikut:
Atau download dalam format mp3.zip Disini
Sumber : MoslemSunnah

Selasa, 26 April 2016

“Duli Yang Maha Mulia”


https://www.facebook.com/GengRajaBomohSeMalaysia/photos/a.586603748095778.1073741828.586580108098142/980160055406810/?type=3


GELARAN SULTAN - “Duli Yang Maha Mulia”
Seringkali kita dipropagandakan oleh sesetengah golongan yang mengatakan bahawa ungkapan “Duli Yang Maha Mulia” adalah haram hukumnya untuk digunakan kerana ianya dikatakan bahawa rakyat menyamakan ketinggian ataupun kemulian seorang sultan sama tahapnya dengan Allah. Saya masih teringat ketika masih di bersekolah dulu yang mana saya bersekolah di negeri Selangor, maka nyanyian lagu negeri yang bertajuk “Duli Yang Maha Mulia” mesti dinyanyikan tiap kali acara perhimpunan sekolah diadakan.
Jika dilihat, setiap Sultan pasti memegang satu gelaran sebelum perkatan Sultan bagi negeri yang mempunyai sultan atau raja yang bertakhta.
[1] SERI PADUKA BAGINDA YANG DI-PERTUAN AGONG Tuanku Abdul Halim Mu’adzam Shah Ibni Al-Marhum Sultan Badlishah
[2] Al-Wathiqubillah Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Al-Marhum Sultan Mahmud Al-Muktafibillah Shah (Sultan Terengganu)
[3] DYMM Sultan Sharafuddin Idris Shah Al-Haj ibni Almarhum Sultan Saladdin Abdul Aziz Shah Al-Haj (Sultan Selangor)
[4] DYMM Sultan Ibrahim Ismail ibni Almarhum Sultan Iskandar (Sultan Johor)
[5] DYMM Yang di-Pertuan Besar Tuanku Muhriz Ibni Al-Marhum Tuanku Munawir (Negeri Sembilan)
[6] Duli Yang Maha Mulia(DYMM) Sultan Haji Ahmad Shah (Sultan Pahang)
[7] Duli Yang Maha Mulia(DYMM) Tuanku Syed Sirajuddin Ibni Al-Marhum Tuanku Syed Putra Jamalullail (Sultan Perlis)
[8] Duli Yang Maha Mulia(DYMM) Paduka Seri Sultan Azlan Muhibbuddin Shah Ibni Al-Marhum Sultan Yussuf Izzuddin Shah Ghafaru’llahulahu (Sultan Perak)
[9] DYMM Sultan Muhammad Ke-V (Tuanku Muhammad Faris Petra Sultan Ismail Petra) (Sultan Kelantan)
Dalam isu “Duli Yang Maha Mulia(DYMM)” dan hampir semua sultan memakai gelaran ini. Kita mesti mengkaji semula sejarah frasa ini digunakan. Pertama kita perlu ketahui bahawa terma “Duli” mengikut laras Bahasa Melayu kuno bermaksud habuk. Habuk ini bolehlah disamakan dengan sifat seorang hamba. Makanya, “Duli” membawa pengertian tentang sifat seorang hamba.
Manakala, ungkapan “Yang Maha Mulia” pula dimaksudkan oleh orang Melayu lama sebagai Allah. Ini kerana Allah itu adalah tuhan bagi orang-orang Islam dan hanya Allah yang memiliki segala-gala yang berada di alam semesta ini. Yang Maha Berkuasa lagi Yang Maha Mulia. Maknanya, penggunaan ungkapan “Duli Yang Maha Mulia” kepada sultan sememangnya tidak salah untuk digunakan kerana ianya adalah simbol ataupun lambang bahawa sultan-sultan adalah hamba ataupun khalifah kepada Allah di bumi untuk menjalankan hukum-hukum Allah.
Begitulah berseninya ketamadunan Melayu dalam menyampaikan laras bahasa. Maka kita sebagai generasi baru hari ini janganlah cepat melatah tanpa melakukan sebarang pengkajian usul periksa. Sesungguhnya ilmulah yang membezakan di antara mereka yang cerdik dengan mereka yang dangkal.
Penulisan : Khir Azril

Kesultanan Terengganu

Sejarah Ringkas 



Al-Wathiqu Billah, Tuanku Mizan Zainal Abidin Ibni Almarhum Sultan Mahmud Al-Muktafi Billah Shah.


Kesultanan Terengganu berasal dari Royal House of Bendahara Johor. Sultan Terengganu yang pertama ialah Sultan Zainal Abidin 1 (1725-1733).

Sultan Zainal Abidin 1 ( Marhum Bukit Nangka ) adalah anakanda putera bongsu Bendahara Tun Habib Abdul Majid Padang Saujana Johor.

Kekanda yang tua ialah Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV (Marhum Kuala Pahang) Bendahara dan akhirnya ditabal Sultan Johor setelah mangkatnya Sultan Mahmud Shah II Mangkat Dijulang pada 1699 waris terakhir Dinasti Melaka Johor.

Anakanda saudara Sultan Zainal Abidin 1 iaitu Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah ibni Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV merupakan Sultan pertama Empayar Johor-Riau-Pahang-Lingga-Terengganu.

Dari keturunan Sultan Zainal Abidin 1 ini telah melahirkan  17 Sultan Terengganu.


Sultan Terengganu yang sekarang ialah Sultan Mizan Zainal Abidin, Sultan yang ke 17, Mantan Yang di Pertuan Agong dari 2006-2011. Sultan Mizan adalah Ketua Agama Islam dan punca segala Darjah Kebesaran dan Pangkat di Terengganu.

Berikut ialah senarai Kesultanan Terengganu:


1725–1733: Sultan Zainal Abidin I
1733–1793: Sultan Mansur Shah I
1793–1808: Sultan Zainal Abidin II
1808–1830: Sultan Ahmad Shah I
1830–1831: Sultan Abdul Rahman
1831 (bersama): Sultan Baginda Omar dan Sultan Mansur Shah II
1831–1837: Sultan Mansur Shah II
1837–1839: Sultan Muhammad Shah I
1839–1876: Sultan Baginda Omar
1876: Sultan Mahmud Shah
1876–1881: Sultan Ahmad Muadzam Shah II
1881–1918: Sultan Zainal Abidin III
1918–1920: Sultan Muhammad Shah II
1920–1942: Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
1942–1945: Sultan Ali Shah
1945–1979: Sultan Ismail Nasiruddin Shah
1979–1998: Sultan Mahmud al-Muktafi Billah Shah
1998–kini: Sultan Mizan Zainal Abidin


Oleh kerana berasal dari Keluarga Bendahara Johor, Kesultanan Terengganu mempunyai hubungan kerabat yang begitu rapat dengan Kesultan